Oleh: Rudy Gunawan, Dresel, Oro-oro Ombo, Batu, Malang
Budidaya Bawang Merah Secara Organik (*)
Jumat, 25 Juli 2008
Tertarik pada pertanian karena kami sekeluarga hidup di lingkungan masyarakat petani dan peternak sapi perah. Kegiatan dalam masyarakat sebagai anggota klub sepak bola dan sekretaris kelompok tani Subur Makmur.
Petani di daerah Batu sejak tahun 50-an telah menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia seperti DDT. Tahun 1980 mereka sudah mulai merasakan bahwa hasil produksi pertaniannya semakin merosot. Penggunaan pupuk dan pestisida meningkat jumlahnya seiring dengan mahalnya harga pupuk dan pestisida kimia. Dengan kemampuan yang pas-pasan saya berupaya dan mencari terobosan agar petani tetap mendapat keuntungan. Disinilah saya bergabung dengan petani lestari HPS Batu.
Di dalam tanah terdapat mahlk kecil yang dinamakan mikro organisme yang menghancurkan sisa-sisa mahluk hidup dari hewan atau tumbuhan. Hasil penghancuran itu menjadi makanan bagi tumbuh-tumbuhan dan selanjutnya membentuk rantai makanan yang tidak pernah berhenti (daur ulang alami). Setelah manusia menemukan pupuk kimia untuk menyuburkan tanaman dan DDT untuk melindungi dari serangan hama, berkembanglah pemakaian pestisida untuk memberantas hama dan penyakit tanaman. Penggunaan pupuk kimia yang terus menerus menyebabkan penurunan jumlah bahan organik tanah, PH tanah menurun, tanah menjadi kecut (masam), ditambah pemakaian pestisida yang berakibat matinya mikro organisme di dalam tanah, sehingga tanah menjadi mati/bantat.
Dengan terjadinya krisis, pupuk menjadi mahal bahkan ada yang naik 3 kali llipat sehingga petani tidak mampu membelinya. Biaya untuk bertanam menjadi semakin tinggi sedangkan hasilnya makin berkurang. Kerugian selalu terjadi sehingga membuat kami harus mementukan pilihan jalan keluar.
Menanam Bawang Merah Secara Organik
1. Tanah dicangkul agak dalam dan rumputnya diambil (kebruk kalet: bahasa petani Batu), selanjutnya digulut dengan lebar 80 cm.
2. Guludan ditaburi pupuk kandang
3. Pupuk kandang ditutup dengan tanah dan permukaan guludan dibuat rata. Pada musim penghujan permukaan guludan dibuat agak lebih tinggi agar tidak terendam air hujan. Tinggi guludan pada musim kemarau 30 cm dan musim hujan 40 cm.
4. Bibit yang sudah siap kemudian ditanam pada guludan (diponjo) dengan jarak 20 cm, kemudian ditutup menggunakan daun pahit-pahitan (daun yang rasanya pahit).
5. Tahap selanjutnya adalah penyiangan, menggemburkan tanah dan menguruk tanaman tipis-tipis sesuai dengan pertumbuhan tanaman.
6. Pemberantasan hama dan penyakit menggunakan rendaman daun pahitan dan bawang putih.
7. Setelah cukup umur tanaman dicabut, diikat dan selanjutnya disiger.
Hasil yang Diperoleh
1. Penanaman pada waktu musim kemarau (dengan disiram), dengan bibit sebanyak 15 kg menghasilkan panen sebanyak 60 kg.
2. Penanaman pada musim hujan, dengan bibit sebanyak 50 kg menghasilkan panen sebanyak 200 kg.
Kendala dan Manfaat
Selama proses penanaman berlangsung selalu dibayangi keraguan karena seolah-olah menentang arus, meskipun dengan sistem pertanian organik berarti mengikuti hukum alam.
Paguyuban belum mampu memasarkan hasil panen sehingga terpaksa saya menjualnya seharga produk konvensional.
Kesimpulan
Bertani dengan sistem organik harus titen dan telaten sehingga pasti panen. Dengan sistem pertanian organik biaya yang dikeluarkan rendah, pengerjaan tanah mudah karena gembur. Sudah waktunya petani beralih sistem, meninggalkan sistem konvensional yang merugi dan merusak lingkungan, dengan sistem pertanian organik yang lestari.
(*) Ditulis ulang dari buku BELAJAR DARI PETANI, Kumpulan Pengalaman Bertani Organik yang diterbitkan atas kerjasama: SPTN-HPS-LESMAN-MITRA TANI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar