Senin, 17 September 2012

PELUANG PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA

PELUANG PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK DI INDONESIA Print E-mail
Jurnal Dinamika Sosial Ekonomi (JDSE)
PENDAHULUAN
Memasuki abad 21, masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian sehingga pertanian organik kembali menarik perhatian baik di tingkat produsen maupun konsumen. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan Hal ini didorong oleh kesadaran untuk melestarikan lingkungan, karena dibalik keberhasilan revolusi hijau terdapat dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Meningkatnya perhatian dan kepedulian masyarakat dunia terhadap lingkungan telah mendorong permintaan produk organik. Gaya hidup sehat yang akrab lingkungan dengan slogan: Back to Nature telah menjadi trend baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia nonalami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh dalam produksi pertanian. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.
Di negara yang sudah maju dan sangat memperhatikan masalah lingkungan, adanya residu kimia dalam bahan pangan yang berasal dari pupuk kimia dan pestisida sintetik mendapatkan perhatian yang serius, sedang situasi di Indonesia sangat berbeda sama sekali, pandangan baru sebatas menitikberatkan pada usaha mempertahankan swasembada pangan. Bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, pangan organik masih merupakan hal baru, baru mulai populer sekitar 4-5 tahun lalu. Pertanian organik belum cukup dimasyarakatkan, baik oleh petani sendiri maupun oleh pemerintah, meski pemerintah telah mencanangkan kembali ke organik (go organic) tahun 2010. Upaya mewujudkan go organic tahun 2010 merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan pertanian organik dengan potensi yang dimilikinya.
PENGARUH PASAR GLOBAL
Globalisasi merujuk kepada proses yang melibatkan integrasi ekonomi nasional, dengan faktor-faktor pemicunya berupa hambatan-hambatan perdagangan dan investasi yang semakin berkurang, dan meningkatnya inovasi dalam bidang teknologi informasi dan teknologi transportasi (Wild et.al 1999). Globalisasi adalah proses saling ketergantungan ekonomi di antara negara-negara di dunia dengan ciri utamanya adalah meningkatnya keterbukaan antar negara di bidang perdagangan, arus investasi, arus keuangan, jasa, teknologi, informasi, manusia, dan ide-ide. Dampak dari globalisasi tentunya akan menjadi tantangan yang sekaligus juga bisa dijadikan peluang atau bahkan merupakan ancaman bagi pertanian Indonesia.
Nuansa pasar global mulai terasa, dengan segala ketentuan dan peraturan-peraturan yang nantinya mau tidak mau harus kita lalui perlu mendapat perhatian serius. AFTA pada 2002, APEC 2010 dan WTO 2020 untuk negara maju telah memacu negara-negara lain untuk menata diri bertemu di pasar global. Perdagangan bebas dunia secara global, membawa konsekuensi pada semakin ketatnya persaingan antar unit-unit usaha di semua negara untuk memperebutkan pangsa pasar dunia yang semakin terbuka. Dari satu sisi dengan terbukanya pasar dunia tersebut, peluang untuk memasok kebutuhan bagi pasar dunia akan semakin terbuka. Namun di sisi lain, terbukanya pasar domestik bagi pemasok/pesaing dari luar negeri, menyebabkan berbagai ancaman bagi unit usaha yang ada di Indonesia dalam mempertahankan eksistensinya. Perlu diupayakan penigkatan daya saing kompetitif produk-produk Indonesia yang kini baru memiliki daya saing komparatif (E. Gumbira-Said, 2002)
Peluang yang terbuka untuk mengembangkan usaha dalam perekonomian yang terbuka dan terintegrasi dengan ekonomi dunia hanya bisa dimanfaatkan kalau dunia usaha kita memiliki daya saing. Daya saing dihasilkan oleh produktivitas dan efisiensi serta partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya dalam perekonomian.
Oleh karena itu, kita tak boleh berharap lagi untuk mengeksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran untuk mengejar ketinggalan dengan negara lain namun dituntut untuk mewariskan sumberdaya alam yang lestari kepada generasi yang akan datang. LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture) merupakan suatu konsep yang tidak mudah dilaksanakan. LEISA adalah pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia yang tersedia ditempat (seperti tanah, air, tumbuhan, dan skill) secara ekonomis layak, mantap secara ekologis disesuaikan menurut budaya dan adil secara sosial (Coen Reintjes, Bertus Haverkort, dan Ann Water-Bayer, 1999). Pada prinsipnya, petanian organik sejalan dengan pengembangan pertanian dengan masukan teknologi rendah (low-input technology) dan upaya menuju pembangunan pertanian berkelanjutan.
POTENSI UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK
Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan (3) Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian organik sangat besar. Peluang Indonesia untuk mengembangkan pertanian organik dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:
Aspek Sumberdaya Alam
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000). Menurut Iwantoro (2002) Indonesia memiliki 17 juta hektar lahan kosong yang berpotensi tinggi untuk dijadikan lahan baru. Pendapatan ekspor bahan pangan organik yang dihasilkan dari lahan tersebut dapat mencapai ± US $ 100 milyar per tahun. Beberapa tanaman yang dikelola secara tradisional secara teknis memenuhi persyaratan sistem jaminan mutu organik
Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Aspek Pasar
Kenaikan permintaan pangan organik mencapai 20%-30% per tahun, bahkan untuk beberapa negara dapat mencapai 50% per tahun. Saat ini pertanian organik di Indonesia masih merupakan suatu gerakan yang relatif sangat terbatas. Meskipun budidaya organik dengan segala aspeknya jelas memberikan keuntungan kepada pembangunan pertanian dan pelestarian lingkungan, namun penerapannya tidak mudah dan banyak menghadapi kendala, diantaranya kebijakan pemerintah maupun faktor sosial ekonomi lainnya (Iwantoro, 2002).
Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea.
Areal tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar (Tabel 1).
Tabel 1. Areal tanam pertanian organik masing-masing wilayah di dunia, 2002

No
Wilayah Areal
Luas Areal (ha)
1
2
3
4
5
6
Australia dan Oceania
Eropa
Amerika Latin
Amerika Utara
Asia
Afrika
7,70
4,20
3,70
1,30
0,09
0,06

Sumber: Winarno. 2002
PENGEMBANGAN DAN SOSIALISASI PERTANIAN ORGANIK
Pertanian organik sebagai bagian pertanian akrab lingkungan perlu segera dikembangkan dan disosialisasikan sejalan makin banyaknya dampak negatif terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Walaupun dalam pengembangan pertanian organik memerlukan waktu relatif panjang. Pertanian organik akan banyak memberi manfaat ditinjau dari aspek peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan produksi tanaman maupun ternak, serta dari aspek lingkungan dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem. Ditinjau dari aspek ekonomi akan lebih menghemat devisa negara untuk mengimpor pupuk, bahan kimia pertanian, serta memberi banyak kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan petani. Hasil penelitian yang dilakukan Eva Trisanti (2002) di Kecamatan Delanggu Klaten, menyatakan bahwa pendapatan petani padi organik lebih besar dari pendapatan petani padi non organik, dan biaya produksi yang dikeluarkan untuk budidaya padi organik lebih rendah daripada padi non organik.
Pengembangan pertanian organik ditujukan antara lain; (1) Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya. (2) Melindungi dan melestarikan keragaman hayati dan fungsi keragaman dalam bidang pertanian (3) Memasyarakatkan kembali budidaya organik yag sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang kegiatan budidaya pertanian berkelanjutan. (4) Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk anorganik, serta bahan kimia pertanian lainnya. (5) Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian
Memperhatikan kondisi pembangunan pertanian yang sedang berjalan di Indonesia, usaha untuk meningkatkan kebutuhan pangan sejalan dengan meningkatnya penduduk dan kebutuhan untuk memperbaiki kesehatan tanah maka pada tahap awal sosialisasi pertanian memerlukan strategi dengan cara memadukan beberapa komponen pertanian organik ke dalam teknologi konvensional yang sedang berjalan. Rekomendasi pelaksanaan sebagai berikut: (1) untuk memasyarakatkan di kalangan petani, maka prinsip pertanian organik perlu dimasukkan ke dalam paket teknologi pertanian. Untuk itu diperlukan dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan spesifikasi komoditas, (2) peluang pemasaran domestik produk organik meliputi tanaman sayuran, buah-buahan dan perkebunan perlu diidentifikasi. Perlu dijalin interaksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan antara konsumen dan prodsen untuk menjamin pemasaran produk organik secara berkesinambungan., (3) Perlu adanya ketetapan mekanisme sertifikasi, akreditasi dan labelisasi untuk menjamin kendali mutu (quality control) produk yang menggunakan masukan organik dan yang ditanam secara organik.
STANDAR KUALITAS PRODUK ORGANIK
Konsumen perlu mendapat perlindungan terhadap kebenaran predikat organik bagi produk yang mereka beli dengan harga yang cukup tinggi. Para konsumen pangan organik berhak mendapat dan menuntut perlindungan atas keorisinilan produk organik yang dibeli. Selama ini banyak konsumen pangan organik selalu dijangkiti perasaan was-was dan ragu-ragu tentang kebenaran label pada produk pangan di supermarket, apakah produk yang berlabel organik itu benar-benar organik ataukah organik-organikan. Siapakah sebetulnya yang bertanggung jawab dalam memastikan kepada konsumen bahwa produk-produk tersebut benar organik? Konsumen berhak menuntut perlindungan tersebut.
Sertifikasi produk organik sangat tergantung pada pasar yang berkembang saat ini. Standar dasar internasional IFOAM dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun peraturan dalam meningkatkan daya saing produk pertanian organik di pasar global. Model sertifikasi yang sudah berkembang di negara Uni Eropa dan Amerika Serikat dapat digunakan sebagai acuan, dan selanjutnya dalam mengembangkan model sertifikasi yang sudah ada menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia Di Indonesia, Komite Akreditasi Nasional (KAN) belum siap melakukan hal tersebut karena belum siap tenaga dan peraturan pedoman yang dapat mengaudit suatu calon lembaga sertifikasi.
Produk-produk organik yang beredar di Indonesia diproduksi oleh lembaga atau produsen yang mendapat akreditasi dari luar negeri. Di dunia Internasional bahwa yang berhak mengeluarkan sertifikat atau label organik adalah suatu lembaga yang telah diakreditasi oleh suatu lembaga. Sampai tahun 2000 terdapat beberapa lembaga sertifikasi nasional yang telah mendapat akreditasi dari IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement), yaitu NASAA (Australia), Farm Verified Organic (Amerika), KRAV (Swedia), dan lainya. Contohnya, Organic Farming Romo Agatho di Tugu, Puncak, disertifikasi oleh NASAA (National Association of Sustainable Agriculture Australia). Beberapa Negara telah menyusun panduan sertifikasi produk organik, misalnya tanggal 13 Agustus 2002, Departemen Pertanian Malaysia menyosialisasikan kepada khalayak ramai konsep sertifikasi pertanian organik. Dalam pengumuman tersebut, sertifikasi organik akan disusun berdasarkan Pedoman Standar Produksi, Labelling, dan Pemasaran bagi pangan organik yang berasal dari tanaman. Standar tersebut dikeluarkan oleh Departemen Standar Malaysia (DSM), suatu badan standardisasi nasional dan akreditasi. Di Indonesia, badan tersebut mirip dengan BSN (Badan Standar Nasional) dan KAN (Komite Akreditasi Nasional) (FG Winarno, 2002).
Masalah atau isu utama yang masih menggantung adalah kredibilitas bagi lembaga akreditasi yang telah ada. Meskipun masyarakat menyambut baik gerakan-gerakan proaktif dari masyarakat, Departemen Pertanian masih menyangsikan pemberian akreditasi yang dilakukan oleh wholesalers, retailer, dan Ikatan Petani Organik (OAM), yang oleh banyak pihak dapat dianggap mengandung conflict of interest, karena OAM dicurigai memiliki vested interest juga dalam bisnis tersebut.
Dalam bidang produk pangan dan pertanian organik, kebiasaan internasional yang ada adalah bahwa departemen pertanian merupakan competent authority. Departemen tersebut juga menentukan bagi registrasi terhadap lembaga sertifikasi dan sistem audit, sistem yang harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Swasta dapat saja bertindak sebagai lembaga sertifikasi. Idealnya, lembaga sertifikasi bersifat independen, bebas, dan lepas dari segala bisnis produksi dan pemasaran produk pangan.
Artinya, lembaga sertifikasi tersebut tidak terlibat dalam bisnis, misalnya memiliki saham dalam industri produksi serta pemasaran produk pangan organik sehingga dapat menghindarkan diri dari terjadinya vested interest. Yang terpenting dilakukan adalah proses sertifikasi harus dilakukan secara benar, jujur, teliti, dan kredibel.
Dalam sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida maupun bahan kimia lainnya. Banyaknya produk-produk yang mengklaim sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik dapat dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
a) Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA), namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis. Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran, maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi dan pihak-pihak lain yang terkait.
b) Sertifikasi Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh IFOAM. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai produk pertanian organik.
Menurut FG Winarno (2002), bahwa sertifikasi produk pangan dan pertanian organik, Indonesia dapat menggunakan paling sedikit tiga acuan, yaitu FAO/WHO Codex Alimentarius Commision (CAC), GL 29-1999 dan Pedoman International Federation of Organic Agriculture yang dikeluarkan Indian Standard Committee.
Meskipun disusun berdasarkan standar internasional, standar pangan organik Indonesia sebaiknya masih perlu disesuaikan dengan kondisi lokal. Karena jenis industri tersebut relatif masih sangat baru dan akan menghadapi banyak hambatan dan kekurangan, maka perlu dilakukan pengecualian terhadap penggunaan beberapa bahan yang alami dan non-organik yang dapat digunakan, tetapi harus dilakukan secara baik dengan rambu-rambu yang ketat. Contohnya, persyaratan bibit yang dapat digunakan, karena ada peraturan yang mengharuskan bahwa bibit tidak boleh mengalami treatment. Barangkali untuk persyaratan tersebut perlu ada sedikit keleluasaan untuk dapat menggunakan treated seed.
Karena persyaratan organik harus diterapkan pada lahan selektif, yaitu lahan organik, maka waktu konversinya perlu ditentukan, yaitu satu tahun untuk lahan bekas budi daya cash crops, dan tiga tahun untuk tree crops. Selain kurun waktu tersebut, petani harus memperbaiki mutu lahan pertaniannya dengan pemberian kompos organik. Selama waktu konversi lahan tersebut, petani tidak dapat meningkatkan produktivitas hasil tanam organik. Produk dari hasil pertanian tersebut hanya boleh dilabel transition atau transition to organic. Tentu saja competent authority dapat saja melakukan keputusan untuk memperpendek waktu transisi yang dianjurkan tersebut.
Konsep awal pertanian organik yang ideal adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu sendiri, dan dijaga hanya minimal sekali input dari luar atau sangat dibatasi. Jadi, sedapat mungkin pupuk yang digunakan berasal dari kompos yang dibuat sendiri. Tetapi, karena sempitnya lahan yang dimiliki, barangkali kecil kemungkinannya hal itu dapat dipenuhi oleh petani kecil dan menengah sehingga mereka terpaksa harus menggunakan pupuk organik dari luar.
PELUANG PASAR PRODUK PERTANIAN ORGANIK
Permintaan konsumen akan produk organik baik padi maupun sayuran segar menyehatkan yang berasal dari pertanian organik dari tahun ke tahun makin meningkat. Kenaikan permintaan pangan organik mencapai 20%-30% per tahun, bahkan untuk beberapa negara dapat mencapai 50% per tahun (Iwantoro, 2002). Pada saat ini konsumsi dunia dari hasil pertanian organik mencapai US$ 27 juta, tetapi Indonesia belum masuk perhitungan. Dengan pertimbangan ini diperlukan usaha yang cukup intensif untuk menghasilkan dan mengembangkan produk-produk organik dengan menggunakan pestisida hayati dalam konteks Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Meskipun potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas, tetapi prospeknya di masa mendatang cukup baik. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain: 1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut.
Dengan semakin banyaknya konsumen hijau (green consumer) yang menguasai pasar produk pertanian organik, baik di tingkat internasional maupun nasional, serta dengan semakin berkembangnya gerakan zero emissions, maka pertanian organik memperoleh momentum penting dan dukungan besar dari pasar global yang mendambakan produk-produk pertanian akrab lingkungan.
Pada saat ini produsen pertanian organik di Indonesia masih sangat terbatas. Dan belum banyak produk dari Indonesia yang dapat bersaing di pasar global, kecuali produk kopi arabika yang dibudidayakan berdasarkan prinsip pertanian organik oleh Kelompok Tani Kopi Arabika di daerah Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Produk kopi yang diekspor telah memperoleh akreditasi dari Bio-coffee IFOAM dan memperoleh label ECO dari negeri Belanda. P.T Bina Sarana Bakti, Cisarua yang membudidayakan tanaman sayuran secara organik, telah memiliki konsumen tetap dan “green shop” di Jakarta (Rachman Sutanto, 2002). Indonesia harus mampu bersaing di pasar global dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan memanfaatkan peluang yang ada untuk memasok kebutuhan produk organik pasar dunia. Konsekuensi dari pasar global, bahwa dengan terbukanya pasar domestik bagi pemasok dari luar negeri justru akan menjadi ancaman di pihak Indonesia dengan mengalirnya produk dari luar menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk-produk luar. Untuk itu perlu diupayakan penigkatan daya saing kompetitif produk-produk Indonesia serta efisiensi dan produkduktivitas harus mejadi perhatian Untuk dapat mengekspor bahan produk organik maka harus memenuhi kualifikasi standar peraturan pertanian organik ke negara tujuan.
Pengembangan selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan untuk meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian.
Beberapa komoditas prospektif seperti tanaman pangan, hortikultura, tanaman rempah dan obat serta perkebunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan potensi ekspor cukup cerah perlu segera dikembangkan dengan sistem pertanian organik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan global.(Tabel 2).
Tabel 2. Komoditas yang layak dikembangkan dengan sistem pertanian organik

No
Kategori Komoditi
1
2
3
4
5
6
Tanaman Pangan Padi
Hortikultura Sayuran: brokoli merah, petsai, caisin, cho putih, kubis tunas, bayam daun, labu siam, oyong dan baligo.
Buah : nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis
Perkebunan: kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili, teh dan kopi
Rempah dan obat : jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temu lainnya
Peternakan : susu, telur, dan daging

Menghadapi era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar internasional untuk dapat memenuhi permintaan produk organik yang cenderung meningkat.
PENUTUP
Pertanian organik merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena ikut melestarikan lingkungan dan memberikan keuntungan pada pembangunan pertanian. Dengan melihat kondisi permintaan pangan organik terus meningkat sehubungan dengan masyarakat mulai menyadari akan bahaya makanan non organik maka perlu bagi pemerintah dan semua pihak untuk segera mewujudkan go organic and back to nature untuk terus memanfaatkan potensi yang masih cukup besar untuk dikembangkan.
Terbatasnya produk pertanian organik yang diperdagangkan di pasar internasional merupakan peluang cukup besar untuk pengembangan pertanian organik bagi Indonesia. Pengembangan produk yang berorientasi ekspor dengan sertifikasi yang ketat, agar mampu bersaing di pasar global dan perlu menjalin kerjasama perdagangan atar negara serta membuka pasar baru yang berpotensi
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia. Jakarta.
Coen Reintjes, Bertus Haverkort, dan Ann Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Kanisius. Yogyakarta.
E. Gumbira-Said. 2002. Kesiapan Indonesia Menghadapi AFTA 2003; Peluang danTantangan Sumberdaya Manusia Agribisnis. Makalah Debat Opini Loknas-AFTA.
Eva Trisanti, 2002. Analisis Pendapatan Petani Organik di Kecamatan Delanggu
Kabupaten Klaten. JDSE, Vol. 3 No. 1- Juni 2002
F.G. Winarno, 2002. Pangan Organik dan Pengembangannya di Indonesia, Harian Kompas 4 November 2002, Jakarta.
Iwantoro, Syukur. 2002. Kebijakan Deptan dalam Pembangunan Produk Pertanian Organik dan Sistem Penguasaannya. Pusat Standarisasi dan Akreditasi, Deptan.
Karwan A. Salikin, 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan, Kanisius, Yogyakarta.
Sutanto, Rachman, 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan, Kanisius, Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Pertanian organik potensinya bagus, sayangnya kurang begitu dikembangkan. Sebab masih ada ketakutan akan hasil panen yang menurun waktu awal peralihan. Para petani cenderung suka yang instan dengan pupuk kimia yang langsung jos, tapi sebenarnya dampak di belakang menjadikan tanah rusak.

    BalasHapus