PENDAHULUAN
Memasuki
abad 21, masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh
pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian sehingga pertanian
organik kembali menarik perhatian baik di tingkat produsen maupun
konsumen. Orang semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi
kesehatan dan ramah lingkungan Hal ini didorong oleh
kesadaran untuk melestarikan lingkungan, karena dibalik keberhasilan
revolusi hijau terdapat dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan
kesehatan manusia. Meningkatnya perhatian dan kepedulian masyarakat
dunia terhadap lingkungan telah mendorong permintaan produk organik. Gaya hidup sehat yang akrab lingkungan dengan slogan: Back to Nature telah menjadi trend
baru meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia
nonalami, seperti pupuk, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh
dalam produksi pertanian. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga
secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian
harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Pangan yang sehat dan bergizi tinggi dapat diproduksi dengan metode baru yang dikenal dengan pertanian organik.
Di
negara yang sudah maju dan sangat memperhatikan masalah lingkungan,
adanya residu kimia dalam bahan pangan yang berasal dari pupuk kimia dan
pestisida sintetik mendapatkan perhatian yang serius, sedang situasi di
Indonesia sangat berbeda sama sekali, pandangan baru sebatas
menitikberatkan pada usaha mempertahankan swasembada pangan. Bagi
negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, pangan organik masih
merupakan hal baru, baru mulai populer sekitar 4-5 tahun lalu. Pertanian
organik belum cukup dimasyarakatkan, baik oleh petani sendiri maupun
oleh pemerintah, meski pemerintah telah mencanangkan kembali ke organik (go organic) tahun 2010. Upaya mewujudkan go organic tahun 2010 merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan pertanian organik dengan potensi yang dimilikinya.
PENGARUH PASAR GLOBAL
Globalisasi
merujuk kepada proses yang melibatkan integrasi ekonomi nasional,
dengan faktor-faktor pemicunya berupa hambatan-hambatan perdagangan dan
investasi yang semakin berkurang, dan meningkatnya inovasi dalam bidang
teknologi informasi dan teknologi transportasi (Wild et.al 1999).
Globalisasi adalah proses saling ketergantungan ekonomi di antara
negara-negara di dunia dengan ciri utamanya adalah meningkatnya
keterbukaan antar negara di bidang perdagangan, arus investasi, arus
keuangan, jasa, teknologi, informasi, manusia, dan ide-ide. Dampak dari
globalisasi tentunya akan menjadi tantangan yang sekaligus juga bisa
dijadikan peluang atau bahkan merupakan ancaman bagi pertanian
Indonesia.
Nuansa
pasar global mulai terasa, dengan segala ketentuan dan
peraturan-peraturan yang nantinya mau tidak mau harus kita lalui perlu
mendapat perhatian serius. AFTA pada 2002, APEC 2010 dan WTO 2020 untuk
negara maju telah memacu negara-negara lain untuk menata diri bertemu
di pasar global. Perdagangan bebas dunia secara global, membawa
konsekuensi pada semakin ketatnya persaingan antar unit-unit usaha di
semua negara untuk memperebutkan pangsa pasar dunia yang semakin
terbuka. Dari satu sisi dengan terbukanya pasar dunia tersebut, peluang
untuk memasok kebutuhan bagi pasar dunia akan semakin terbuka. Namun di
sisi lain, terbukanya pasar domestik bagi pemasok/pesaing dari luar
negeri, menyebabkan berbagai ancaman bagi unit usaha yang ada di
Indonesia dalam mempertahankan eksistensinya. Perlu diupayakan
penigkatan daya saing kompetitif produk-produk Indonesia yang kini baru
memiliki daya saing komparatif (E. Gumbira-Said, 2002)
Peluang
yang terbuka untuk mengembangkan usaha dalam perekonomian yang terbuka
dan terintegrasi dengan ekonomi dunia hanya bisa dimanfaatkan kalau
dunia usaha kita memiliki daya saing. Daya saing dihasilkan oleh
produktivitas dan efisiensi serta partisipasi masyarakat yang
seluas-luasnya dalam perekonomian.
Oleh
karena itu, kita tak boleh berharap lagi untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam secara besar-besaran untuk mengejar ketinggalan dengan
negara lain namun dituntut untuk mewariskan sumberdaya alam yang lestari kepada generasi yang akan datang. LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture)
merupakan suatu konsep yang tidak mudah dilaksanakan. LEISA adalah
pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia
yang tersedia ditempat (seperti tanah, air, tumbuhan, dan skill) secara
ekonomis layak, mantap secara ekologis disesuaikan menurut budaya dan
adil secara sosial (Coen Reintjes, Bertus Haverkort, dan Ann
Water-Bayer, 1999). Pada prinsipnya, petanian organik sejalan dengan
pengembangan pertanian dengan masukan teknologi rendah (low-input technology) dan upaya menuju pembangunan pertanian berkelanjutan.
POTENSI UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN ORGANIK
Indonesia
memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional
walaupun secara bertahap. Hal ini karena berbagai keunggulan komparatif
antara lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk
mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung
pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam
tanpa olah tanah, pestisida hayati dan (3) Indonesia memiliki kekayaan
sumberdaya hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan
tanah, serta budaya masyarakat yang menghormati alam, potensi pertanian
organik sangat besar. Peluang Indonesia untuk mengembangkan pertanian
organik dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu:
Aspek Sumberdaya Alam
Luas
lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar.
Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru
sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS,
2000). Menurut Iwantoro (2002) Indonesia memiliki 17 juta
hektar lahan kosong yang berpotensi tinggi untuk dijadikan lahan baru.
Pendapatan ekspor bahan pangan organik yang dihasilkan dari lahan
tersebut dapat mencapai ± US $ 100 milyar per tahun.
Beberapa tanaman yang dikelola secara tradisional secara teknis memenuhi
persyaratan sistem jaminan mutu organik
Pertanian
organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar
oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan
luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum
tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan
demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara
intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan
lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2
tahun.
Aspek Pasar
Kenaikan
permintaan pangan organik mencapai 20%-30% per tahun, bahkan untuk
beberapa negara dapat mencapai 50% per tahun. Saat ini pertanian organik
di Indonesia masih merupakan suatu gerakan yang relatif sangat
terbatas. Meskipun budidaya organik dengan segala aspeknya jelas
memberikan keuntungan kepada pembangunan pertanian dan pelestarian
lingkungan, namun penerapannya tidak mudah dan banyak menghadapi
kendala, diantaranya kebijakan pemerintah maupun faktor sosial ekonomi
lainnya (Iwantoro, 2002).
Volume
produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang
diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh
negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar
produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara
timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea.
Areal
tanam pertanian organik, Australia dan Oceania mempunyai lahan terluas
yaitu sekitar 7,7 juta ha. Eropa, Amerika Latin dan Amerika Utara
masing-masing sekitar 4,2 juta; 3,7 juta dan 1,3 juta hektar. Areal
tanam komoditas pertanian organik di Asia dan Afrika masih relatif
rendah yaitu sekitar 0,09 juta dan 0,06 juta hektar (Tabel 1).
Tabel 1. Areal tanam pertanian organik masing-masing wilayah di dunia, 2002
No
|
Wilayah Areal
|
Luas Areal (ha)
|
1
2
3
4
5
6
|
Australia dan Oceania
Eropa
Amerika Latin
Amerika Utara
Asia
Afrika
|
7,70
4,20
3,70
1,30
0,09
0,06
|
Sumber: Winarno. 2002
PENGEMBANGAN DAN SOSIALISASI PERTANIAN ORGANIK
Pertanian
organik sebagai bagian pertanian akrab lingkungan perlu segera
dikembangkan dan disosialisasikan sejalan makin banyaknya dampak negatif
terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi
intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Walaupun dalam
pengembangan pertanian organik memerlukan waktu relatif panjang.
Pertanian organik akan banyak memberi manfaat ditinjau dari aspek
peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan produksi tanaman maupun
ternak, serta dari aspek lingkungan dalam mempertahankan keseimbangan
ekosistem. Ditinjau dari aspek ekonomi akan lebih menghemat devisa
negara untuk mengimpor pupuk, bahan kimia pertanian, serta memberi
banyak kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan petani. Hasil
penelitian yang dilakukan Eva Trisanti (2002) di Kecamatan Delanggu
Klaten, menyatakan bahwa pendapatan petani padi organik lebih besar dari
pendapatan petani padi non organik, dan biaya produksi yang dikeluarkan
untuk budidaya padi organik lebih rendah daripada padi non organik.
Pengembangan
pertanian organik ditujukan antara lain; (1) Membantu meningkatkan
kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan produk-produk pertanian
bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya. (2)
Melindungi dan melestarikan keragaman hayati dan fungsi keragaman dalam
bidang pertanian (3) Memasyarakatkan kembali budidaya organik yag sangat
bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan
sehingga menunjang kegiatan budidaya pertanian berkelanjutan. (4)
Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida
dan pupuk anorganik, serta bahan kimia pertanian lainnya. (5)
Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global
dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang
bergerak dalam bidang pertanian
Memperhatikan
kondisi pembangunan pertanian yang sedang berjalan di Indonesia, usaha
untuk meningkatkan kebutuhan pangan sejalan dengan meningkatnya penduduk
dan kebutuhan untuk memperbaiki kesehatan tanah maka pada tahap awal
sosialisasi pertanian memerlukan strategi dengan cara memadukan beberapa
komponen pertanian organik ke dalam teknologi konvensional yang sedang
berjalan. Rekomendasi pelaksanaan sebagai berikut: (1) untuk
memasyarakatkan di kalangan petani, maka prinsip pertanian organik perlu
dimasukkan ke dalam paket teknologi pertanian. Untuk itu diperlukan
dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan spesifikasi
komoditas, (2) peluang pemasaran domestik produk organik
meliputi tanaman sayuran, buah-buahan dan perkebunan perlu
diidentifikasi. Perlu dijalin interaksi dan jaringan kerja yang saling
menguntungkan antara konsumen dan prodsen untuk menjamin pemasaran
produk organik secara berkesinambungan., (3) Perlu adanya ketetapan
mekanisme sertifikasi, akreditasi dan labelisasi untuk menjamin kendali
mutu (quality control) produk yang menggunakan masukan organik dan yang ditanam secara organik.
STANDAR KUALITAS PRODUK ORGANIK
Konsumen
perlu mendapat perlindungan terhadap kebenaran predikat organik bagi
produk yang mereka beli dengan harga yang cukup tinggi. Para konsumen
pangan organik berhak mendapat dan menuntut perlindungan atas
keorisinilan produk organik yang dibeli. Selama ini banyak
konsumen pangan organik selalu dijangkiti perasaan was-was dan ragu-ragu
tentang kebenaran label pada produk pangan di supermarket, apakah
produk yang berlabel organik itu benar-benar organik ataukah
organik-organikan. Siapakah sebetulnya yang bertanggung jawab dalam
memastikan kepada konsumen bahwa produk-produk tersebut benar organik?
Konsumen berhak menuntut perlindungan tersebut.
Sertifikasi produk organik sangat tergantung pada pasar yang berkembang saat ini. Standar
dasar internasional IFOAM dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun
peraturan dalam meningkatkan daya saing produk pertanian organik di
pasar global. Model sertifikasi yang sudah berkembang di negara Uni
Eropa dan Amerika Serikat dapat digunakan sebagai acuan, dan selanjutnya
dalam mengembangkan model sertifikasi yang sudah ada menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia Di
Indonesia, Komite Akreditasi Nasional (KAN) belum siap melakukan hal
tersebut karena belum siap tenaga dan peraturan pedoman yang dapat
mengaudit suatu calon lembaga sertifikasi.
Produk-produk
organik yang beredar di Indonesia diproduksi oleh lembaga atau produsen
yang mendapat akreditasi dari luar negeri. Di dunia Internasional bahwa
yang berhak mengeluarkan sertifikat atau label organik adalah suatu
lembaga yang telah diakreditasi oleh suatu lembaga. Sampai tahun 2000
terdapat beberapa lembaga sertifikasi nasional yang telah mendapat
akreditasi dari IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement), yaitu NASAA (Australia), Farm Verified Organic (Amerika), KRAV (Swedia), dan lainya. Contohnya, Organic Farming Romo Agatho di Tugu, Puncak, disertifikasi oleh NASAA (National Association of Sustainable Agriculture Australia). Beberapa
Negara telah menyusun panduan sertifikasi produk organik, misalnya
tanggal 13 Agustus 2002, Departemen Pertanian Malaysia menyosialisasikan
kepada khalayak ramai konsep sertifikasi pertanian organik. Dalam
pengumuman tersebut, sertifikasi organik akan disusun berdasarkan
Pedoman Standar Produksi, Labelling, dan Pemasaran bagi pangan organik
yang berasal dari tanaman. Standar tersebut dikeluarkan oleh Departemen
Standar Malaysia (DSM), suatu badan standardisasi nasional dan
akreditasi. Di Indonesia, badan tersebut mirip dengan BSN (Badan Standar
Nasional) dan KAN (Komite Akreditasi Nasional) (FG Winarno, 2002).
Masalah
atau isu utama yang masih menggantung adalah kredibilitas bagi lembaga
akreditasi yang telah ada. Meskipun masyarakat menyambut baik
gerakan-gerakan proaktif dari masyarakat, Departemen Pertanian masih
menyangsikan pemberian akreditasi yang dilakukan oleh wholesalers, retailer, dan Ikatan Petani Organik (OAM), yang oleh banyak pihak dapat dianggap mengandung conflict of interest, karena OAM dicurigai memiliki vested interest juga dalam bisnis tersebut.
Dalam bidang produk pangan dan pertanian organik, kebiasaan internasional yang ada adalah bahwa departemen pertanian merupakan competent authority.
Departemen tersebut juga menentukan bagi registrasi terhadap lembaga
sertifikasi dan sistem audit, sistem yang harus bersih dari korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Swasta dapat saja bertindak sebagai lembaga
sertifikasi. Idealnya, lembaga sertifikasi bersifat independen, bebas,
dan lepas dari segala bisnis produksi dan pemasaran produk pangan.
Artinya,
lembaga sertifikasi tersebut tidak terlibat dalam bisnis, misalnya
memiliki saham dalam industri produksi serta pemasaran produk pangan
organik sehingga dapat menghindarkan diri dari terjadinya vested interest. Yang terpenting dilakukan adalah proses sertifikasi harus dilakukan secara benar, jujur, teliti, dan kredibel.
Dalam
sistem pertanian organik modern diperlukan standar mutu dan ini
diberlakukan oleh negara-negara pengimpor dengan sangat ketat. Sering
satu produk pertanian organik harus dikembalikan ke negara pengekspor
termasuk ke Indonesia karena masih ditemukan kandungan residu pestisida
maupun bahan kimia lainnya. Banyaknya produk-produk yang mengklaim
sebagai produk pertanian organik yang tidak disertifikasi membuat
keraguan di pihak konsumen. Sertifikasi produk pertanian organik dapat
dibagi menjadi dua kriteria yaitu:
a)
Sertifikasi Lokal untuk pangsa pasar dalam negeri. Kegiatan pertanian
ini masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah yang
minimal atau Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA),
namun sudah sangat membatasi penggunaan pestisida sintetis.
Pengendalian OPT dengan menggunakan biopestisida, varietas toleran,
maupun agensia hayati. Tim untuk merumuskan sertifikasi nasional sudah
dibentuk oleh Departemen Pertanian dengan melibatkan perguruan tinggi
dan pihak-pihak lain yang terkait.
b) Sertifikasi
Internasional untuk pangsa ekspor dan kalangan tertentu di dalam
negeri, seperti misalnya sertifikasi yang dikeluarkan oleh IFOAM.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain masa konversi
lahan, tempat penyimpanan produk organik, bibit, pupuk dan pestisida
serta pengolahan hasilnya harus memenuhi persyaratan tertentu sebagai
produk pertanian organik.
Menurut
FG Winarno (2002), bahwa sertifikasi produk pangan dan pertanian
organik, Indonesia dapat menggunakan paling sedikit tiga acuan, yaitu
FAO/WHO Codex Alimentarius Commision (CAC), GL 29-1999 dan Pedoman International Federation of Organic Agriculture yang dikeluarkan Indian Standard Committee.
Meskipun
disusun berdasarkan standar internasional, standar pangan organik
Indonesia sebaiknya masih perlu disesuaikan dengan kondisi lokal. Karena
jenis industri tersebut relatif masih sangat baru dan akan menghadapi
banyak hambatan dan kekurangan, maka perlu dilakukan pengecualian
terhadap penggunaan beberapa bahan yang alami dan non-organik yang dapat
digunakan, tetapi harus dilakukan secara baik dengan rambu-rambu yang
ketat. Contohnya, persyaratan bibit yang dapat digunakan, karena ada
peraturan yang mengharuskan bahwa bibit tidak boleh mengalami treatment. Barangkali untuk persyaratan tersebut perlu ada sedikit keleluasaan untuk dapat menggunakan treated seed.
Karena
persyaratan organik harus diterapkan pada lahan selektif, yaitu lahan
organik, maka waktu konversinya perlu ditentukan, yaitu satu tahun untuk
lahan bekas budi daya cash crops, dan tiga tahun untuk tree crops.
Selain kurun waktu tersebut, petani harus memperbaiki mutu lahan
pertaniannya dengan pemberian kompos organik. Selama waktu konversi
lahan tersebut, petani tidak dapat meningkatkan produktivitas hasil
tanam organik. Produk dari hasil pertanian tersebut hanya boleh dilabel transition atau transition to organic. Tentu saja competent authority dapat saja melakukan keputusan untuk memperpendek waktu transisi yang dianjurkan tersebut.
Konsep awal pertanian organik yang ideal adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu sendiri, dan dijaga hanya minimal sekali input
dari luar atau sangat dibatasi. Jadi, sedapat mungkin pupuk yang
digunakan berasal dari kompos yang dibuat sendiri. Tetapi, karena
sempitnya lahan yang dimiliki, barangkali kecil kemungkinannya hal itu
dapat dipenuhi oleh petani kecil dan menengah sehingga mereka terpaksa
harus menggunakan pupuk organik dari luar.
PELUANG PASAR PRODUK PERTANIAN ORGANIK
Permintaan
konsumen akan produk organik baik padi maupun sayuran segar menyehatkan
yang berasal dari pertanian organik dari tahun ke tahun makin
meningkat. Kenaikan permintaan pangan organik mencapai 20%-30% per
tahun, bahkan untuk beberapa negara dapat mencapai 50% per tahun
(Iwantoro, 2002). Pada saat ini konsumsi dunia dari hasil pertanian
organik mencapai US$ 27 juta, tetapi Indonesia belum masuk perhitungan.
Dengan pertimbangan ini diperlukan usaha yang cukup intensif untuk
menghasilkan dan mengembangkan produk-produk organik dengan menggunakan
pestisida hayati dalam konteks Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Meskipun
potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil,
hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas, tetapi prospeknya di
masa mendatang cukup baik. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain:
1) belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian
organik, 2) perlu investasi mahal pada awal pengembangan karena harus
memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia, 3) belum ada
kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut.
Dengan semakin banyaknya konsumen hijau (green consumer) yang menguasai pasar produk pertanian organik, baik di tingkat internasional maupun nasional, serta dengan semakin berkembangnya gerakan zero emissions, maka pertanian organik memperoleh momentum penting dan dukungan besar dari pasar global yang mendambakan produk-produk pertanian akrab lingkungan.
Pada saat ini produsen pertanian organik di Indonesia masih
sangat terbatas. Dan belum banyak produk dari Indonesia yang dapat
bersaing di pasar global, kecuali produk kopi arabika yang dibudidayakan
berdasarkan prinsip pertanian organik oleh Kelompok Tani Kopi Arabika
di daerah Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Produk kopi yang diekspor telah
memperoleh akreditasi dari Bio-coffee IFOAM dan memperoleh label ECO dari negeri Belanda. P.T Bina Sarana Bakti, Cisarua yang membudidayakan tanaman sayuran secara organik, telah memiliki konsumen tetap dan “green shop”
di Jakarta (Rachman Sutanto, 2002). Indonesia harus mampu bersaing di
pasar global dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan memanfaatkan
peluang yang ada untuk memasok kebutuhan produk organik pasar dunia. Konsekuensi dari pasar global, bahwa dengan terbukanya
pasar domestik bagi pemasok dari luar negeri justru akan menjadi
ancaman di pihak Indonesia dengan mengalirnya produk dari luar
menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk-produk luar. Untuk itu
perlu diupayakan penigkatan daya saing kompetitif produk-produk
Indonesia serta efisiensi dan produkduktivitas harus mejadi perhatian Untuk
dapat mengekspor bahan produk organik maka harus memenuhi kualifikasi
standar peraturan pertanian organik ke negara tujuan.
Pengembangan
selanjutnya pertanian organik di Indonesia harus ditujukan untuk
meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global
dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang
bergerak dalam bidang pertanian.
Beberapa komoditas prospektif seperti
tanaman pangan, hortikultura, tanaman rempah dan obat serta perkebunan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan potensi ekspor cukup cerah perlu
segera dikembangkan dengan sistem pertanian organik untuk memenuhi
kebutuhan pasar domestik dan global.(Tabel 2).
Tabel 2. Komoditas yang layak dikembangkan dengan sistem pertanian organik
No
|
Kategori Komoditi
|
1
2
3
4
5
6
|
Tanaman Pangan Padi
Hortikultura Sayuran: brokoli merah, petsai, caisin, cho putih, kubis tunas, bayam daun, labu siam, oyong dan baligo.
Buah : nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis
Perkebunan: kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili, teh dan kopi
Rempah dan obat : jahe, kunyit, temulawak, dan temu-temu lainnya
Peternakan : susu, telur, dan daging
|
Menghadapi
era perdagangan bebas pada tahun 2010 mendatang diharapkan pertanian
organik Indonesia sudah dapat mengekspor produknya ke pasar
internasional untuk dapat memenuhi permintaan produk organik yang
cenderung meningkat.
PENUTUP
Pertanian
organik merupakan pertanian yang berwawasan lingkungan karena ikut
melestarikan lingkungan dan memberikan keuntungan pada pembangunan
pertanian. Dengan melihat kondisi permintaan pangan organik terus
meningkat sehubungan dengan masyarakat mulai menyadari akan bahaya
makanan non organik maka perlu bagi pemerintah dan semua pihak untuk
segera mewujudkan go organic and back to nature untuk terus memanfaatkan potensi yang masih cukup besar untuk dikembangkan.
Terbatasnya
produk pertanian organik yang diperdagangkan di pasar internasional
merupakan peluang cukup besar untuk pengembangan pertanian organik bagi
Indonesia. Pengembangan produk yang berorientasi ekspor dengan
sertifikasi yang ketat, agar mampu bersaing di pasar global dan perlu
menjalin kerjasama perdagangan atar negara serta membuka pasar baru yang
berpotensi
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia. Jakarta.
Coen Reintjes, Bertus Haverkort, dan Ann Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan. Kanisius. Yogyakarta.
E. Gumbira-Said. 2002. Kesiapan Indonesia Menghadapi AFTA 2003; Peluang danTantangan Sumberdaya Manusia Agribisnis. Makalah Debat Opini Loknas-AFTA.
Eva Trisanti, 2002. Analisis Pendapatan Petani Organik di Kecamatan Delanggu
Kabupaten Klaten. JDSE, Vol. 3 No. 1- Juni 2002
F.G. Winarno, 2002. Pangan Organik dan Pengembangannya di Indonesia, Harian Kompas 4 November 2002, Jakarta.
Iwantoro, Syukur. 2002. Kebijakan Deptan dalam Pembangunan Produk Pertanian Organik dan Sistem Penguasaannya. Pusat Standarisasi dan Akreditasi, Deptan.
Karwan A. Salikin, 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan, Kanisius, Yogyakarta.
Sutanto, Rachman, 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan
Berkelanjutan, Kanisius, Yogyakarta.
|